KH. Ahmad Dalhar "Hidangan Alam Ghaib"
Assalamualaiku warahmatullahi
wabarakatu
“Bagi siapa saja yang membaca kisah auliya, saya harap
selalu menjaga adab dan sopan santun terhadap beliau, Semoga dengan membaca
kisah para auliyah tertanam dalam diri kita kecintaan kepadanya, serta kita
beserta keturunan kita termasuk orang dicintai oleh Allah Azza wajallah”
Hidangan Alam Ghaib.
Kiai Ahmad Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang
suatu saat melakukan rangkaian ibadah haji. Ia bertemu dengan seorang lelaki
yang sebelumnya belum pernah bertemu sama sekali. Di antara percakapan keduanya
sebagai berikut:
“Nama anda siapa?” tanya Mbah Dalhar
“Nur Muhammad”
“Asli mana?”
“Magelang”
“Lho, lha saya ini juga asli Magelang. Anda mana?”
“Salaman”
“Salamannya mana?”
“Ngadiwongso”
Ngadiwongso adalah salah satu desa di Kecamatan
Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dengan kata lain, Kiai Dalhar dan
Kiai Nur Muhammad satu kabupaten, tapi beda kecamatan.
Setelah berbicara panjang lebar, Kiai Nur Muhammad
berpesan kepada Mbah Dalhar “Besok, kalau pulang, bila ada waktu silahkan
mampir, pinarak ke rumah saya ya!”
Waktu bergulir hingga cukup lama, Mbah Dalhar tidak
segera berkunjung. Begitu pula sebaliknya, Kiai Nur Muhammad juga belum pernah
mendatangi rumah Mbah Dalhar sejak kali pertama bertemu saat musim haji kala
itu.
Suatu saat, Mbah Dalhar mendapat undangan sebuah
acara pada satu tempat, pada era di mana belum banyak masyarakat yang mempunyai
kendaraan mewah seperti sekarang ini. Waktu itu Mbah Dalhar diantar oleh H
Bukhari, hartawan asal Desa Tirto, Grabag, Magelang.
Selepas pulang dari acara, mobil yang ditumpangi
Mbah Dalhar tiba-tiba mogok di tengah jalan. Antara Mbah Dalhar dan H Bukhari
tidak tahu di desa mana tepatnya mereka berhenti sekarang ini. Keduanya hanya
paham kalau mobil mereka sedang mogok di wilayah Kecamatan Salaman. Keduanya
mencoba bertanya kepada warga sekitar.
“Maaf, Tuan, kalau boleh tahu, numpang nanya nih.
Ini desa apa ya?”
“Oh, ini desa Ngadiwongso, Ndoro,” begitu jawab
penduduk setempat.
“Lho, kebetulan sekali. Kalau begitu kita mampir
saja ke rumah KH Nur Muhammad. Dia itu kawan baik saat aku haji dulu, katanya
ia bertempat tinggal di desa Ngadiwongso,” kata Mbah Dalhar kepada H Bukhari
sembari mengingat, menerawang beragam kenangan indah bersamanya.
Mbah Dalhar bertanya kembali,
“Apakah Tuan tahu alamat KH Nur Muhammad?”
“Oh, iya, di sebelah sana, Ndoro,” jawabnya sembari
memberikan arah yang jelas, alamat tidak terlampau jauh dari lokasi.
Bersama H Bukhari, Mbah Dalhar menuju dan kemudian
sampai di rumah tujuan, kediaman Kiai Nur Muhammad. Rumahnya persis di samping
rumpun bambu nan asri.
Dan di sana, layaknya tamu terhormat, keduanya
dijamu istimewa. Saking istimewanya, jamuan makanan dan minuman yang disajikan
oleh Kiai Nur Muhammad ini membuat H Bukhari tidak akan pernah lupa semasa
hidupnya di dunia.
Bagaimana tidak? Setelah menyantap menu sajian Kiai
Nur Muhammad, H Bukhari mengaku tak pernah merasa lapar dan dahaga sama sekali.
Selain itu, ia menjadi tak punya ketertarikan dengan
ragam makanan apapun setelah menikmati hidangan Kiai Nur. Baginya, selama
hidup, kelezatan makanan apapun tidak ada yang sebanding dengan milik Kiai Nur
Muhammad.
Sekitar sepuluh hari berselang, H Bukhari yang
disebut masyarakat sekitar sebagai hartawan kaya raya mendapat undangan pada
sebuah acara keluarganya di suatu daerah. Sampai saat itu pula, ia masih
merasakan kenyang atas makanan sepuluh hari silam. Ia juga masih tak punya
selera makan. Namun, ia kalah ketika tuan rumah sedikit menegurnya karena
kurang melegakan hati penyedia makanan.
“Iya ya, kalau anda itu memang orang kaya, pasti
tidak berkenan makanan orang miskin seperti kami ini,” kata tuan rumah,
memelas.
Merasa tidak enak hati, sekaligus iba, H Bukhari
memaksa diri untuk menyantap sajian. Nahas, kenikmatan kenyang yang tidak
kunjung hilang sejak sepuluh hari lalu itu lenyap, menghilang seketika. Ia
kembali merasa lapar dan merasakan sebagaimana sebelum memakan pemberian Kiai
Nur Muhammad.
H Bukhari pun kaget dan bertanya-tanya, “ada apa ini
sebenarnya?”.
Setelah ia telisik mendalam, ia kemudian mendapati
jawabnya. Ternyata Kiai Nur Muhammad sudah wafat beberapa waktu lalu. Sedangkan
jenazahnya dimakamkan di pemakaman yang di sampingnya ada rumpun bambu persis
dengan ciri-ciri sekitar perumahan di mana ia mendapat jamuan makan bersama
Kiai Dalhar.
Ia menarik kesimpulan, bahwa ia sedang menerima
jamuan dari orang yang sudah meninggal. Dan kisah ini menunjukkan tentang
kebenaran sebuah ayat yang menyatakan, orang yang meninggal di jalan Allah itu
tidaklah mati. Mereka hanya pernah merasakan mati sekali saja. Setelah itu
mereka hidup kembali dan diberi rezeki oleh Allah SWT
وَلَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Jangan engkau menyangka orang yang meninggal di
jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup dihadapan Allah dan diberi rizqi.
(Q.S: Ali Imron: 169)
Sumber: Mauidzah hasanah KH Thoifur Mawardi Haul
Masyayikh Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah.
7B = Mulyani Anggaeni
ReplyDeleteGood mulyani
ReplyDelete7B:Renata Antony L.
ReplyDelete